Full width home advertisement

kuliner

pendidikan

kesehatan

Post Page Advertisement [Top]

 

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOPTESIS TINDAKAN

A.      Kajian Teori

1.        Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK

a.         Pengertian dan Karakteristik PTK

Penelitian tindakan kelas merupakan salah satu penelitian yang sedang diminati khususnya oleh para guru karena penelitian ini dapat dilaksanakan tanpa harus meninggalkan tugas guru sebagai pendidik. Bahkan sebenarnya para guru telah melaksanakan jenis penelitian ini hanya saja mereka belum mendokumentasikannya secara baik.

Pendapat lain mengemukakan bahwa “penelitian tindakan kelas atau classroom action research merupakan kajian sistematik tentang upaya meningkatkan mutu praktik pendidikan oleh sekelompok masyarakat melalui tindakan praktis yang mereka lakukan dan merefleksi hasil tindakannya” (Hopkins 1993:88-89). Sedangkan menurut Suwarsih Madya (1998:10) “penelitian tindakan merupakan intervensi praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis”. Tentu penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan ia disebut ’penelitian tindakan kelas’ atau PTK.

Karakteristik PTK meliputi : (1)     dirancang untuk mengatasi permasalahan nyata, (2) diterapkan secara kontekstual, (3) terarah pada peningkatan kinerja guru di kelas, (4) bersifat fleksibel, (5) data diperoleh langsung dari pengamatan atas perilaku dan refleksi, (6) bersifat situasional dan spesifik (Natawidjaya 1997:2)

b.        Proses Pelaksanaan PTK

Ada beberapa model rencana PTK, yakni model Kurt Lewin, Kemmis & Mc  Taggart, John Elliot, dan Hopkins (Dadang &
Narsim 2015:25). Dari beberapa model tersebut, model Kurt Lewin merupakan model yang paling sederhana, yang mencakup :

1.        Perencanaan (planning), yakni persiapan yang dilakukan untuk pelaksanaan PTK, seperti: penyusunan scenario pembelajaran, pembuatan media,

2.        Tindakan (acting), yaitu deskripsi tindakan yang akan dilakukan, scenario kerja tindakan perbaikan yang akan dikerjakan, dan prosedur tindakan yang akan diterapkan.

3.        Observasi (observing), yaitu kegiatan mengamati dampak atas tindakan yang dilakukan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara pengamatan, wawancara, kuesioner atau cara lain yang sesuai dengan data yang dibutuhkan.

4.        Refleksi (reflecting), yaitu kegiatan evaluasi tentang perubahan yang terjadi atau hasil yang diperoleh atas data yang terhimpun sebagai bentuk dampak tindakan yang telah dirancang. Berdasarkan langkah ini akan dapat diketahui perubahan yang
terjadi dan dilakukan telaah mengapa, bagaimana, dan sejauh mana tindakan yang ditetapkan mampu mencapai perubahan atau mengatasi masalah secara signifikan. Bertolak dari refleksi ini pula suatu perbaikan tindakan dalam bentuk replanning dapat dilakukan.

2.        Belajar

Menurut Jihad (2013:1) belajar adalah kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan, hal ini berarti keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada keberhasilan proses belajar siswa di sekolah dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan menurut Hamalik (2003:27) belajar adalah proses kegiatan dan bukan hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, tetapi lebih dari itu yaitu mengalami. Hal tersebut dipertegas oleh Suparno (2001:2) yang menyatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan yang relatif permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari suatu praktik atau latihan.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan aktivitas atau tingkah laku individu. Setiap individu yang belajar akan terjadi perubahan pada dirinya yang dapat mengembangkan pribadinya. Belajar bersifat individualistik. Dalam konteks belajar di sekolah apa yang dilakukan oleh pembelajar itulah yang dipelajari dan bukan dilakukan oleh guru. Belajar adalah sebagai suatu perubahan pada diri individu yang disebabkan oleh pengalaman.

3.        Hasil Belajar

Sudjana (dalam Jihad, 2013: 15) menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Sedangkan Hamalik (dalam Jihad, 2013: 15) mengungkapkan bahwa hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian dan sikap-sikap, serta apersepsi dan abilitas.. Hal tersebut dipertegas oleh  Slameto (1995 : 17) yang menyatakan  bahwa hasil belajar merupakan tolok ukur yang utama untuk mengetahui keberhasilan belajar seseorang. Seorang yang prestasinya tinggi dapat dikatakan bahwa ia telah berhasil dalam belajar.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah tingkat pengetahuan yang dicapai siswa terhadap materi yang diterima ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di sekolah.

Dalam penelitian ini hasil belajar mencakupi Kompetensi Inti 3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat, membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan  kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah., serta Kompetensi Dasar 3.9 Menjelaskan dan menentukan keliling dan luas persegi, persegipanjang, dan segitiga serta hubungan pangkat dua dengan akar pangkat dua.

4.        Materi Matematika Volume Bangun Ruang

MATERI MATEMATIKA KELAS 6 BAB 4 BANGUN RUANG

Ada berbagai benda di sekitar kita yang berbentuk bangun ruang. Ayo, ingat kembali macam-macam bangun ruang beserta ciri-cirinya, serta rumus untuk menghitung volume danluas permukaannya..

1.    Bangun Ruang Prisma

Prisma adalah salah satu bangun ruang yang memiliki bentuk alas dan atapnya sama (kongruen), serta sisi tegak berbentuk segi empat. Sisi tegak prisma sering disebut sebagai selimut prisma.

Berdasarkan bentuk alas dan atapnya, prisma memiliki beberapa jenis, mulai dari prisma tegak segitiga, prisma segi empat, prisma segi lima, prisma segi enam, dan seterusnya.

Penamaan prisma didasari oleh bentuk alas dan atapnya. Sebagai contoh, prisma dengan alas segitiga, maka dinamakan prisma segitiga. Prisma dapat dihitung volume dan luasnya. Berikut merupakan rumus menghitung volume prisma dan luas permukaan prisma:

Volume Prisma (V)                      =   Luas Alas x Tinggi

Luas Permukaan Prisma (LP)   =   (2 x Luas Alas) + (Keliling Alas x Tinggi)

Contoh Soal

1.    Sebuah prisma segi empat memiliki tinggi 10 cm. Slas prisma berbentuk persegi dengan ukuran sisi 5 cm. Berapa volume prisma?

Penyelesaian:
V    =     Luas Alas x Tinggi

V    =     (s x s) x Tinggi

V    =     (5 x 5) x 10

V    =     25 x 10

V    =     250 cm³.

2.    Bangun Ruang Limas

Limas merupakan salah satu bangun ruang yang memiliki alas berbentuk segi banyak, serta sisi tegak berbentuk segitiga. Limas memiliki sebuah titik puncak yang merupakan titik pertemuan dari tiap-tiap sisi tegak limas.

Bangun ruang limas hampir sama dengan prisma, yaitu alasnya terdiri dari beberapa bangun datar segi banyak. Perbedaannya terletak pada bagian atas atau atapnya. Prima memiliki atap yang sama dan kongruen dengan alasnya, sedangkan limas atapnya berupa titik.

Pada bangun ruang limas terdapat dua buah dimensi tinggi, yaitu tinggi bangun limas dan tinggi sisi tegak atau selimut limas. Dasar perhitungan limas adalah mencari volume dan luas permukaan. Berikut merupakan rumus-rumus prisma:

Volume Limas (V)                     =   1/3 x Luas Alas x Tinggi

Luas Permukaan Limas (L)     =   Luas Alas + Seluruh Luas Sisi Tegak

Contoh soal :

1.    Sebuah limas memiliki alas berbentuk persegi dengan ukuran sisi 10 cm. Jika tinggi limas 15 cm, berapakah volume limas tersebut?

Penyelesaian:
V    =     1/3 x Luas Alas x Tinggi

V    =     1/3 x Luas Persegi x Tinggi

V    =     1/3 x (s x s) x Tinggi

V    =     1/3 x (10 x 10) x 15

V    =     1/3 x 100 x 15

V    =     1/3 x 1500

V    =     500 cm³.

3.    Bangun Ruang Tabung

Tabung adalah salah satu bangun ruang yang memiliki sisi alas dan sisi atas berbentuk lingkaran, serta sisi tegak yang sering disebut selimut tabung. Tabung juga dapat disebut sebagai prisma lingkaran.

Tabung merupakan bangun ruang yang tidak memiliki tiitk sudut, tetapi memiliki dua buah rusuk. Bentuk tabung banyak dijumpai di sekitar kita, misalnya kaleng susu, toples, botol minuman, dan lain sebagainya.

Sama seperti bangun ruang lainnya, tabung memiliki volume dan luas permukaan yang dapat dihitung dengan rumus berikut ini:

Volume Tabung (V)                  =   π x r² x t

Luas Permukaan Tabung (L) =   2 x π x r (r + t)



Contoh Soal

1.    Sebuah tabung memiliki jari-jari 7 cm dan tinggi 10 cm. Berapa volume tabung tersebut?

Penyelesaian:
V    =     π x r² x t

V    =     22/7 x 7² x 10

V    =     22/7 x 49 x 10

V    =     154 x 10

V    =     1.540 cm³.

4.    Bangun Ruang Kerucut

Kerucut adalah bangun ruang yang memiliki alas berbentuk lingkaran, serta sebuah selimut yang meruncing pada ujungnya. Bangun ruang kerucut hampir mirip dengan limas, namun ada beberapa hal yang membedakan keduanya.

Perbedaan antara kerucut dan limas terletak pada alasnya. Kerucut memiliki alasnya berbentuk lingkaran, sedangkan alas limas berbentuk bangun segi banyak. bentuk selimut kerucut berbentuk juring lingkaran, sedangkan limas memiliki selimut berbentuk segitiga.

Selain perbedaan, keduanya juga memiliki kesamaan yaitu semua sisi tegak atau selimut akan mengarah pada satu titik puncak. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung volume dan luas permukaan kerucut adalah sebagai berikut:

Volume Kerucut (V)                 =   1/3 x π x r² x t

Luas Permukaan Kerucut (L) =   π x r (r + s)



Contoh Soal

1.    Sebuah kerucut memiliki alas dengan jari-jari 7 cm dan tinggi nya adalah 12 cm. Berapa volume kerucut tersebut?

Penyelesaian:
V    =     1/3 x π x r² x t

V    =     1/3 x 22/7 x 7² x 12

V    =     1/3 x 22/7 x 49 x 12

V    =     1/3 x 1848

V    =     616 cm³.

5.    Bangun Ruang Bola

Bola merupakan bangun ruang istimewa. Bangun ruang ini tidak memiliki rusuk dan titik sudut. Bola memiliki sebuah sisi berbentuk lengkung. Sisi lengkung bola terbentuk dari lingkaran yang jumlahnya tak terhingga yang berpusat di satu titik yang sama.

Bola merupakan satu-satunya bangun ruang yang tidak memiliki titik sudut. Bangun ruang ini dapat dibentuk dari sebuah bangun setengah lingkaran yang diputar sejauh 360° pada diameternya.

Dasar perhitungan bangun bola adalah mencari volume dan luas permukaan. Berikut merupakan rumus-rumus bola:

Volume Bola (V)                        =   4/3 × π × r³

Luas Permukaan Bola (L)        =   4 × π × r²

Contoh Soal

1.    Sebuah bangun berbentuk bola memiliki jari-jari 7 cm. Berapa volume bola tersebut?

Penyelesaian:
V    =     4/3 × π × r³

V    =     4/3 × 22/7 × 7³

V    =     4/3 × 22/7 × 343

V    =     4/3 × 1.078

V    =     1.437,33 cm³

5.        Model Problem Based Learning (PBL)

a.         Pengertian Model Problem Based Learning (PBL)

Menurut Kamdi (2007: 77), “Problem Based Learning (PBL) merupakan model kurikulum yang berhubugan dengan masalah dunia nyata siswa. Masalah yang diseleksi mempunyai dua karakteristik penting, pertama masalah harus autentik yang berhubungan dengan kontek sosial siswa, kedua masalah harus berakar pada materi subjek dari kurikulum”. Terdapat tiga ciri utama dari model Problem Based Learning (PBL).

Pertama, problem based learning merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi PBL ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa, siswa tidak hanya mendengar, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, tetapi melalui model problem based learning (PBL) siswa menjadi aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya membuat kesimpulan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Problem based learning ini menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya tanpa masalah pembelajaran tidak akan mungkin bisa berlangsung. Ketiga, pemecahan masalah menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.


 

Menurut Nurhadi (2004: 65) “Problem based learning adalah kegiatan interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan”. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. PBL merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah konstektual sehingga merangsang siswa untuk belajar. PBL merupakan suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah ini digunakan untuk mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud.

Berdasarkan uraian mengenai PBL di atas, dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajran. Masalah diberikan kepada siswa, sebelum siswa mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan. Dengan demikian untuk memeahkan masalah tersebut siswa akan mengetahui bahwa mereka membutuhkan pengetahuan baru yang harus dipelajari untuk memecahkan masalah yang diberikan.

b.        Langkah-langkah model Problem Based Learning (PBL)

1.        Fase 1: Orientasi siswa pada masalah, Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan perlengkapan penting yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

2.        Fase 2 : Mengorganisasi siswa untuk belajar, Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

 

 

 

c.         Tujuan Model Problem Based Learning (PBL)

Menurut Rohman (2011: 189) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tujuan dari pembelajaran problem based learning, yaitu:

1.        Untuk mendorong kerjasama penyelesaian tugas antar siswa.

2.        Memiliki elemen-elemen belajar mengajar sehingga mendorong tingkah laku pengamatan siswa dan dialog dengan lainnya.

3.        Melibatkan siswa dan menyelidiki pilihan sendiri yang memungkinkan mereka memahami dan menjelaskan fenomena dunia nyata.

4.        Melibatkan ranah (kognitif, afektif, dan psikomotorik) pada siswa secara seimbang sehingga hasilnya bisa lebih lama diingat oleh siswa.

5.        Dapat membangun optimisme siswa bahwa masalah adalah sesuatu yang menarik untuk dipecahkan bukan suatu yang harus dihindari.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dilingkungan sekolah pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan yang lainnya yakni mendorong peningkatan hasil belajar pada siswa menjadi lebih baik. Oleh sebab itu sangat diperlukan guru pembimbing dalam memecahkan masalah yang dihadapi baik masalah yang sedang terjadi maupun yang belum terjadi untuk dipecahkan alternatif dan solusinya.

d.        Kelebihan dan Kekurangan dari Model Problem Based Learning (PBL)

Kelebihan Model Problem Based Learning (PBL)

Sukamto (2016:23) mengungkapkan bahwa Problem Based Learning
memiliki kelebihan, yaitu sebagai berikut:

1.        Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.

2.        Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi.

3.        Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata  yang dimiliki oleh siswa sehingga pembelajaran lebih bermakna.

4.        Siswa dapat merasakan manfaat dari pembelajaran sebab masalah-masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari.

5.        Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat dari orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara siswa.

6.        Pengkondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajar dan temannya sehingga pencapaian ketuntasan siswa dapat diharapkan. Selain itu, problem based learning (PBL) diyakini pula dapat menumbuh kembangkan kemampuan kreativitas siswa, baik secara individual maupun secara berkelompok.

Kekurangan model Problem Based Learning (PBL)

Menurut Sanjaya (2009:221) antara lain: 

a.    Siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba,

b.    Keberhasilan model pembelajaran melalui PBL membutuhkan cukup waktu untuk persiapan,

c.    Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari

e.         Model Problem Based Learning (PBL) dalam Pembelajaran K 13

Dalam Model pembelajaran ini bertujuan mendorong siswa untuk belajar melalui berbagai permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari, atau permasalahan yang dikaitkan dengan pengetahuan yang telah atau akan dipelajarinya.

Permasalahan yang diajukan pada model PBL, bukanlah permasalahan “biasa” atau bukan sekedar “latihan” yang diberikan setelah conoth-contoh soal disajikan oleh guru.

Permasalahan dalam PBL menuntut penjelasan atas sebuah fenomena. Fokusnya adalah bagaimana siswa mengidentifikasi isu pembelajaran dan selanjutnya mencarikan alternatif-alternatif penyelesaian.

Pada pembelajaran ini melatih siswa terampil menyelesaikan masalah. Oleh karenanya pembelajarannya selalu dihadapkan pada permasalahan-permasalahan kontekstual.

Alur kegiatan PBL sebagai berikut :

1.    Mengorientasi peserta didik pada masalah; Tahap ini untuk memfokuskan peserta didik mengamati masalah yang menjadi objek pembelajaran.

2.    Mengorganisasikan kegiatan pembelajaran; Pengorganisasian pembelajaran merupakan salah satu kegiatan dimana peserta didik menyampaikan berbagai pertanyaan (atau menanya) terhadap masalah yang dikaji.

3.    Membimbing penyelidikan mandiri dan kelompok; Pada tahap ini peserta didik mengumpulkan informasi/melakukan percobaan untuk memperoleh data dalam rangka menjawab atau menyelesaikan masalah yang dikaji.

4.    Mengembangkan dan menyajikan hasil karya; Peserta didik mengasosiasi data yang ditemukan dari percobaan dengan berbagai data lain dari berbagai sumber.

5.    Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah; Setelah peserta didik mendapat jawaban terhadap masalah yang ada, selanjutnya dianalisis dan dievaluasi.

6.        Media Benda Konkret

a.         Pengertian media konkrit

Pengertian media konkret dikemukakan oleh Erlina Dwi Ayu
(dalam jurnal Deiksis, Vol. 01 No. 02, 2013) yang menyatakan
bahwa media konkrit adalah media yang berasal dari benda-benda
nyata yang banyak dikenal siswa dan mudah didapatkan.

Media benda konkret sangat cocok digunakan dalam pembelajaran di kelas rendah. Dengan menggunakan media benda konkret akan memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran. Berdasarkan penelitian Piaget (dalam Trianto, 2007: 15), ada empat tahap dalam perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis yaitu (1) tahap sensori motor (2) tahap praoperasi (3) tahap operasi konkret dan (4) tahap operasi formal. Tahap operasi konkret dimulai sekitar umur 7 tahun sampai sekitar umur 11 tahun, yaitu anak memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkret dan anak sudah memiliki sudut pandang yang berbeda secara objektif dalam mengamati suatu objek. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret. Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD kelas rendah masih
terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera.

Oleh karena itu dalam mempelajari suatu konsep diperlukan
pengalaman melalui benda-benda nyata (konkret), yaitu media
pembelajaran yang dapat digunakan sebagai jembatan bagi siswa untuk berpikir abstrak.

Pengertian media benda konkret juga dapat diartikan alat peraga seperti yang dikemukakan oleh Subari (1994:95), bahwa “alat peraga adalah alat yang digunakan oleh pengajar untuk mewujudkan atau mendemonstrasikan bahan pengajaran guna memberikan pengertian atau gambaran yang sangat jelas tentang pelajaran yang diberikan.” Selanjutnya Subari juga menjelaskan bahwa ditinjau dari sifatnya alat peraga dibedakan menjadi tiga, yaitu: alat-alat peraga yang asli, alat-alat peraga dari benda pengganti, alat-alat yang terbuat dari benda abstrak.

Berdasarkan tiga macam alat peraga yang disebutkan, masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Pengertian yang berkaitan dengan media benda konkret yaitu alat peraga yang asli, dimana menurut Subari “alat-alat peraga yang asli maksudnya adalah benda-benda yang digunakan untuk alat peraga itu benda yang sebenarnya.” Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Benda Konkret ini merupakan benda yang sebenarnya, benda/media yang membantu pengalaman nyata peserta didik. Media benda konkret memiliki fungsi selain untuk memberi pengalaman nyata dalam kehidupan siswa juga berfungsi untuk menarik minat belajar siswa.

b.        Penggunaan Media Konkret.

Penggunaan media dimaksudkan agar peserta didik yang terlibat dalam kegiatan belajar itu terhindar dari gejala verbalisme, yakni mengetahui kata-kata yang disampaikan guru tetapi tidak memahami maknanya. Penggunaan media benda konkret dalam pembelajaran tentu memiliki tujuan agar pembelajaran yang dilaksanakan mencapai target atau standar ketuntasan yang telah ditetapkan, seperti yang dikemukakan oleh Mulyani Sumantri dan Johar Permana (2001: 153), tujuan dari penggunaan media yaitu untuk membantu guru menyampaikan pesan-pesan secara mudah kepada peserta didik sehingga peserta didik dapat menguasai pesan-pesan tersebut secara cepat, dan akurat. Secara khusus media pengajaran digunakan mempunyai tujuan dalam pengajaran seperti yang dikemukakan oleh Mulyani Sumantri dan Johar Permana (2001: 153), penggunaan media pengajaran digunakan dengan tujuan sebagai berikut: memberikan kemudahan kepada peserta didik, memberikan pengalaman belajar yang berbeda dan bervariasi, menumbuhkan sikap dan keterampilan, menciptakan situasi belajar yang tidak dapat dilupakan peserta didik.

Selanjutnya Mulyani Sumantri dan Johar Permana (2001: 156), mengungkapkan prinsip-prinsip dalam pemilihan media yang akan digunakan dalam pembelajaran, diantaranya: media harus sesuai dengan tujuan pengajaran, media harus sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, media harus disesuaikan dengan kemampuan guru, media harus sesuai dengan situasi dan kondisi atau pada waktu, tempat dan situasi yang tepat, dan media harus memahami karakteristik dari media itu sendiri.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan penggunaan media benda konkret dalam pembelajaran siswa SD sangat membantu kelancaran dan penyampaian materi pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik dan dapat memberikan pengalaman serta pengetahuan yang lebih tahan lama, karena peserta didik mendapatkan pengalaman secara nyata dan langsung. Seperti yang disampaikan oleh Pike ( 1989 : 5 ), dengan menambah media dalam pembelajaran, ingatan akan meningkat dari 14 % hingga

c.         Manfaat Media Konkret

Seperti yang dikutip oleh Arsyad (2006:25), merinci manfaat media
pendidikan sebagai berikut:

1)    Meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berfikir, oleh karena itu mengurangi verbalisme.

2)    Memperbesar perhatian siswa.

3)    Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh karena itu membuat pelajaran lebih mantap.

4)    Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri dikalangan siswa.

5)    Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu, terutama
melalui gambar hidup.

6)    Membantu tumbuhnya pengertian yang dapat membant
perkembangan kemampuan berbahaya.

7)    Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih banyak.

 


B.      Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Rendi Prastio (2016) mengenai “Penggunaan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri dan Hasil Belajar Siswa” menunjukkan bahwa pada tema perkembangan teknologi subtema perkembangan teknologi komunikasi di kelas III SDN Asmi dilatarbelakangi berdasarkan hasil observasi awal penelitian, terdapat beberapa masalah pada proses pembelajaran, diantaranya yaitu dalam proses pembelajaran, kurangnya rasa percaya diri siswa, kemudian pembelajaran masih berpusat pada guru, sehingga peserta didik kurang termotivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran, akibatnya hasil belajar peserta didik menurun. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam meningkatkan hasil belajar, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Hasil postes dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Ketuntasan belajar peserta didik pada siklus II dengan persentase 88,23%, rasa percaya diri siswa dengan persentase 91,75%. Dengan demikian, penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)dapat meningkatkan rasa percaya diri dan hasil belajar siswa pada tema perkembangan teknologi subtema perkembangan teknologi komunikasi.

 Hasri (2019) mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh Model Problem Based Learning ( PBL) terhadap hasil belajar IPA murid kelas V SD Inpres Pamandongang Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa” menunjukkan bahwa Masalah utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Terhadap Hasil Belajar IPA Murid Kelas V SD Inpres Pamandongang. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar IPA pada murid kelas V SD Inpres Pamandongang Kabupaten Gowa. Subjek penelitian sebanyak 63
murid kelas V SD Inpres Pamandongang Kecamatan Bontonompo Selatan
Kabupaten Gowa Hasil penelitian menunjukkan bahwa,hasil belajar IPA pada kelompok eksperimen yang diajar dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning ( PBL ) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diajar dengan tidak menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa, jika menggunakan model pembelajaran terarah memberikan pengaruh yang sedang terhadap hasil belajar murid pada pembelajaran IPA pada murid kelas SD Inpres Pamandongang Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rika Yunita (2021) mengenai “Penerapan Model PBL (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Diklat PDTM Kelas X TPM Di SMK Muhammadiyah 1 Padang “ menunjukan bahwa Suatu penelitian dikembangkan bersama-sama antara penelitian dengan fokus PTK
pada siswa atau PBM (Proses Belajar Mengajar) yang terjadi di kelas. Hasilnya dapat terlihatnya perbedaan aktivitas dan hasil studi pada siklus kedua. Siklus pertama pada kelas X TPM tidak memperoleh aktivitas dan hasil studi yang berbeda secara signifikan yaitu 57,1% dan 67 untuk persentase aktivitas belajar dan hasil belajar siswa. Namun saat diterapkan model Problem Based Learning, peningkatan pada persentase kegiatan belajar maupun hasil studi peserta didik. Siklus kedua menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan, yaitu 79,1% dan 77,73 untuk persentase aktivitas belajar dan hasil belajar siswa.   

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas maka dapat diketahui bahwa penelitian tindakan kelas yang menerapkan model  Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata telah dilakukan peneliti sebelumnya. Namun dalam penelitian ini penerapan model  Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata dilakukan pada materi, setting, subjek, dan kajian pustaka yang berbeda. Terhadap variabel yang sama akan semakin memperkuat  penerapan model  yang dimaksud dalam kerangka meningkatkan kualitas pembelajaran.

C.      Kerangka Berpikir

Penggunaan model  Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata merupakan salah satu wujud pembelajaran yang menyenangkan dalam pembelajaran. Melalui penggunaan model  Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata, siswa menjadi lebih tertarik untuk mengikuti pembelajaran. Siswa diha. Selengkapnya dapat disimak dalam kerangka berpikir di bawah ini:apkan pada situasi nyata dalam menghitung keliling dan luas segi banyak.

Selengkapnya kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada gambar berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TINDAKAN

Pada siklus I penerapan model Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata dengan memberikan kasus dalam kehidupan sehari-hari

 

KONDISI AWAL

 

KONDISI

AKHIR

Guru hanya menerapkan metode pembelajaran ceramah tanpa disertai dengan model pembelajaran yang bervariasi .

Aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika rendah

Guru menerapkan model Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata

Diduga melalui penerapan model Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata dapat meningkatkan hasil belajar Matematika kelas VI Semester 2 SD Negeri 1 Kalipakis Tahun Pelajaran 2021/2022.

 

Pada siklus II penerapan model Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata dengan terjun langsung dilingkungan sekitar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 2.1: Kerangka Berpikir

Berdasarkan bagan di atas dapat dimaknai bahwa proses pembelajaran Matematika yang menyenangkan  perlu melibatkan keaktifan siswa. Penggunaan model  Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata dapat meningkatkan hasil belajar materi volume bangun ruang.

D.      Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah melalui penggunaan model  Problem Based Learning (PBL) dan penggunaan media benda nyata secara optimal dapat meningkatkan hasil belajar Matematika materi volume bangun ruang pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Kalipakis Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal Semester II tahun pelajaran 2021/2022.

 FILE WORD BISA 


 
SELAMAAT MEMBACA SEMOGA BERMANFAAT. UNTUK PASANG IKLAN DI WEB TERCINTA INI HUBUNGI ADMIN BLOG BPK.KHUDHORI.   produk herbal A4 Asli Alami Aman Amazing buktikan sendiri !!!!!! WA +62851 6255 0378 REK. BRI 0034 0104 4088 508

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih aa kud kud segera membalas

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib